Direktorat PKTHA
Pengelolaan hutan pada prinsipnya harus bermanfaat secara sosial, ekonomi dan lingkungan dengan memperhatikan adat istiadat dan budaya setempat.
Didalam pelaksanaannya terjadi perbedaan akan data dan informasi yang ada, kondisi ini menimbulkan konflik ditingkat tapak. Konflik dimaksud bisa terjadi antara Masyarakat dengan Pemerintah (KLHK), Masyarakat dengan Pemda, Masyarakat dengan Pemegang Konsesi, maupun masyarakat dengan masyarakat didalam kawasan hutan.
Kondisi tersebut tentu harus segera ditangani dan diberikan solusi yang tepat dan menguntungkan semua pihak tanpa meninggalkan koridor hukum yang berlaku. Masyarakat harus diberi ruang yang proporsional untuk menjadi pilihan utama dalam mengelola hutan melalui Perhutanan Sosial.
Disisi lain dunia usaha juga memiliki kepastian hukum agar kelangsungan usahanya dapat terus berjalan.
Disini peran pemerintah sebagai simpul negosiasi menjadi sangat penting dan strategis dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adat istiadat terjaga, terjaminnya kelangsungan usaha terkait hutan lestari seperti yang diamanahkan UU nomor 41 tahun 1999.
Pada tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), sebagai bagian dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL). Kehadiran PKTHA sebagai unit penanganan konflik tenurial pada Kementerian LHK merupakan manifestasi dari hadirnya layanan publik dalam penanganan konflik tenurial dengan pendekatan nonlitigasi.
Kehadiran Negara dalam penyelesaian konflik merupakan wujud tanggung jawab negara dalam memberikan jaminan rasa aman dan jaminan kepastian hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan. Direktorat PKTHA lahir sebagai jawaban atas kegelisahan bahwa selama ini negara cenderung abai dalam ikut serta menyelesaikan konflik tenurial di Indonesia. Melalui era birokrasi yang baru ini, pemilihan skema Direktorat PKTHA menjadi tepat, mengingat cukup banyak konflik tenurial kawasan hutan yang sebelumnya tidak tertangani. Pasca-terbentuknya Direktorat PKTHA telah banyak konflik-konflik tenurial yang mulai tertangani, mengingat kelembagaan semacam ini belum pernah dibentuk.
Sampai dengan 2017, Direktorat PKTHA setidaknya telah mampu menangani sepertiga kasus konflik tenurial, atau sebanyak 66 kasus, dari 195 kasus yang diadukan. Sementara itu, sebanyak 83 kasus masih belum ditangani dan sebanyak 46 kasus dikembalikan kepada pemohon, oleh karena 32 kasus di antaranya tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung sementara 14 kasus berlangsung pada lahan APL. Kehadiran PKTHA merupakan terobosan yang responsif terhadap penanganan konflik tenurial di Indonesia, mengingat semenjak Kemerdekaan Hingga masa Orde Baru, bahkan sampai awal Reformasi kelembagaan semacam ini belum pernah dibentuk.