Masyarakat Adat Kearifan Lokal yang Menjaga Hutan
Masyarakat Lindu, Sigi, Sulteng, masih mempertahankan adat budaya, termasuk kesenian dan tarian. Kelembagaan adatnya telah tergerus seiring masuknya pemerintahan Belanda dan Jepang. Kini ada upaya untuk merevitalisasi kembali kelembagaan adat dan hukum adat yang ada. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Pengakuan negara terhadap masyarakat adat dan hutan adatnya tak hanya mengubah karakter hubungan negara dan masyarakat adat, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan atas kearifan lokal dalam melestarikan hutan. Hutan dan masyarakat adat adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Inilah yang terjadi di dalam masyarakat Lindu yang mendiami Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah.
”Hutan adalah makanan kami, air adalah darah kami dan batu-batuan adalah tulang kami,” lontar seorang perempuan dari Desa Marena dalam pertemuan antara masyarakat adat Marena, pemerintah pusat, Pemerintah Kabupaten Sigi, dan perwakilan Kantor Staf Presiden (KSP) awal Desember lalu. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa masyarakat adat tidak mungkin merusak hutan mereka karena hutan dan segala isinya adalah penopang hidup mereka.
Serupa dengan masyarakat Marena, masyarakat Lindu sangat menghargai hutan adat yang masuk di dalam wilayah Taman Nasional Lore Lindu. Hal itu dibuktikan dengan pemberlakuan zonasi penggunaan hutan oleh masyarakat adat Lindu serta sejumlah sanksi adat yang cukup berat jika terjadi pelanggaran terhadap zonasi penggunaan tersebut.
Gunci Rante Pelungi bersama keponakannya Yunius, pemegang kunci makam Maradindo, yang sangat dikeramatkan masyarakat Lindu. Setiap akan diadakan kegiatan besar harus berkunjung ke makam ini dan diadakan pesta pemotongan kerbau di Desa Tomada Anca dan Langgo. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Masyarakat adat Lindu
membentuk Majelis Adat Ngata Lindu (Totua Ngata) yang tugasnya memastikan semua aturan tentang penggunaan hutan dipatuhi dan memberikan sanksi adat jika ada warga yang melanggarnya.
”Kami memiliki semboyan ’ginoku katuhuaku’ atau tempat ini adalah kehidupan kami. Sehingga kami membuat aturan bagi masyarakat adat Lindu dengan membagi wilayah hutan ke dalam beberapa area dengan aturan masing-masing,” jelas Nurdin Lamadjudu, Ketua Majelis Adat Lindu. Pembagian itu meliputi beberapa area hutan.
Area hutan yang sama sekali tidak boleh disentuh oleh masyarakat Lindu disebut sebagai hutan Wanangkiki. Letaknya biasanya di atas permukiman atau di tempat terjauh, di gunung, dan di bagian hulu sungai. Nenek moyang mereka sudah mengajarkan jika wilayah tersebut diganggu, akan membahayakan kehidupan masyarakat adat Lindu sendiri.
Area berikutnya adalah wilayah Suakantodea di mana masyarakat bisa memanfaatkan isi hutan untuk memenuhi kebutuhannya secara terbatas. Misalnya, masyarakat bisa memanfaatkan tanaman pondan hutan untuk membuat tikar penjemur padi, pohon enau untuk diambil buah dan daunnya untuk membuat ijuk, sejumlah kayu terpilih yang dipakai sebagai bahan bangunan rumah.
Area Pangale merupakan wilayah di mana dahulu para leluhur masyarakat Lindu pernah menggarapnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dulu leluhur masyarakat Lindu menerapkan jeda waktu selama lima tahun untuk bertanam di area tersebut.
Setelah memberi jeda lima tahun tak digarap, barulah kemudian wilayah Pangale kembali boleh digunakan dan ditanami. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan tanah di area tersebut memulihkan diri sehingga bisa tetap subur.
Sementara itu, area yang bisa digarap oleh masyarakat Lindu disebut sebagai Pobondea, Popampa, dan Polida. Area Pobondea merupakan tempat di mana masyarakat boleh menanami dengan tanaman produktif, seperti kopi, cokelat, atau bambu. Popampa merupakan kebun tempat menanam ubi jalar, pisang, jagung atau tanaman palawija. Sementara Polida adalah area persawahan.
Masyarakat adat Lindu saat ini mendiami lima desa, yaitu Desa Puroo, Langko, Tamado, Anca, dan Olu. Dengan jumlah penduduk 5.791 jiwa, warga Kecamatan Lindu tersebut menerapkan aturan adat yang cukup ketat terkait penggunaan hutan adat mereka ataupun relasi sosial budaya antarwarga.
Hal ini terjadi mengingat di dalam lima desa tersebut juga bermukim warga non-Lindu, yaitu mereka yang berasal dari luar Lindu, seperti dari wilayah Kulawi Selatan, Toraja, atau orang-orang Bugis. Keberadaan Majelis Adat Ngata Lindu, salah satunya untuk memastikan orang-orang non-Lindu juga mengikuti aturan adat Lindu bersama-sama warga Lindu, terutama menyangkut hutan mereka.
Kekayaan alam yang dijaga oleh masyarakat Lindu tak hanya berupa hutan, tetapi juga danau Lindu. Danau ini terletak di tengah-tengah lembah Lindu dan di sekelilingnya terletak lima desa sehingga menjadi pusat kehidupan sehari-hari masyarakat di mana warga bisa menjaring ikan untuk dimakan sendiri maupun dijual ke luar Lindu. Danau Lindu dengan luas mencapai 3.488 hektar ini juga merupakan danau terbesar kedua di Sulawesi setelah Danau Poso.
Sebagai pusat kehidupan sehari-hari, Majelis Adat Ngata Lindu juga menerapkan aturan adat terkait pemanfaatan Danau Lindu. Hal ini dilakukan agar danau bisa tetap produktif dan terjaga kelestariannya. Aturan adat yang diberlakukan, seperti diberlakukannya Sompoa, yaitu penetapan area di Danau Lindu yang bisa dimanfaatkan oleh warga tiap-tiap desa.
Umumnya, warga tiap desa memiliki daerah tangkapan seputar pinggir danau di area desanya masing-masing. Aturan lainnya, misalnya pelarangan menggunakan bahan kimia dan beracun serta alat penangkap ikan berenergi listrik yang bisa memusnahkan.
Majelis Adat Ngata Lindu juga memastikan aturan-aturan adat tersebut dipatuhi dengan menerapkan sanksi atau denda adat, dalam bahasa lokal disebut gifu, bagi para pelanggarnya. Beberapa sanksi adat yang diberlakukan adalah Ombo Sompoa, yaitu menghentikan sementara aktivitas menangkap ikan bagi para penangkap ikan yang melanggar aturan adat, denda beberapa ekor kerbau disertai kain adat tradisional serta dulang (belanga adat terbuat dari tembaga yang sudah langka), atau yang paling berat adalah dikeluarkan dari wilayah adat Lindu.
Tak hanya menyangkut penggunaan hutan, gifu juga dijatuhkan dalam kaitan dengan relasi sosial budaya masyarakat Lindu. Saat makan bersama secara adat pun, seseorang berpeluang terkena gifu jika tidak benar-benar mengikuti aturan.
Misalnya, aturan untuk mencuci tangan setelah makan selesai, baru boleh dilakukan ketika semua orang yang ikut acara sudah selesai makan. Jika melanggar, akan dikenai gifu. Menurut cerita beberapa warga, pejabat kabupaten pernah terkena gifu dan harus membayar senilai seekor kerbau karena tidak mematuhi aturan tersebut.
Dengan aturan adat yang ketat tersebut, masyarakat Lindu tetap bisa hidup berdampingan meskipun di situ bermukim juga warga non-Lindu dengan beragam agama. Saat ini, masyarakat asli Lindu mendiami tiga desa, yaitu Langko, Tomado, dan Anca. Sementara penduduk desa Puroo dan Olu sudah terdiri atas campuran warga Lindu dan non-Lindu, yaitu masyarakat Kulawi, Toraja, dan Bugis.
Masyarakat Lindu sendiri mayoritas penganut Kristen dengan proporsi mencapai 81 persen, sementara Islam 18,4 persen dan Katolik 0,68 persen. Ragam agama tersebut tidak menghalangi mereka untuk merayakan hari besar agama masing-masing secara bersama-sama.
”Tradisi kami di sini selama Natal dan Lebaran adalah saling berkunjung ke rumah keluarga yang merayakannya. Satu keluarga Muslim akan mengunjungi seluruh warga yang beragama Kristen di saat Natal dan sebaliknya. Acara itu bisa berlangsung selama tiga hari berturut-turut supaya semua keluarga yang merayakan dikunjungi,” urai Joysman, salah seorang tokoh muda adat asli Desa Langko.
Dalam situasi seperti itu, suasana desa di Kecamatan Lindu sangat meriah, dengan puluhan orang mengenakan baju terbaik mereka yang warna-warni memenuhi jalan-jalan desa. Segala jenis hidangan tersedia, mulai dari berbagai penganan hingga hidangan utama dengan lauk ikan dan ayam. (BI Purwantari/Litbang Kompas)