Hutan Desa Sira, Menjaga Periuk Orang Papua
3 April 2017 oleh Ichwan Susanto, Wartawan Kompas
Sebuah pohon merbau menjulang tinggi di hutan yang ditempuh sekitar 15 menit berjalan dari Kampung Sira di Sorong Selatan. Kanopi pohon eksotis dan bernilai ekonomis itu memayungi berbagai tumbuhan semak. Pohon itu juga jadi tempat bermain burung eksotis, seperti kakatua, nuri, dan cenderawasih.
Bagi Papua, kayu endemis itu umumnya dimanfaatkan warga sekitar hutan. Kayu itu juga jadi incaran para pebisnis kayu, baik legal maupun ilegal, yang setiap saat mengincar hutan-hutan di “Bumi Cenderawasih”.
Hal itu pun terjadi di Kampung Sira, Kecamatan Saifi, di sekitar hutan ulayat. Semula hutan sebagai area berburu dan memanfaatkan rotan, bambu, serta sagu itu berstatus hutan produksi yang bisa dikonversi.
Atas ajakan Greenpeace Indonesia, Kompas dan sejumlah wartawan mengunjungi kampung itu, sekitar 1,5 jam dari Teminabuan, Kota Sorong Selatan. Hujan yang turun semalaman membuat jalan berlumpur sehingga menyulitkan traksi ban meski rombongan menumpang mobil bergardan ganda. Sopir dan warga yang menumpang pun menarik dan mengarahkan mobil yang “tertanam”.
Sepetak pepohonan sagu di kanan-kiri jalan menyambut rombongan saat tiba di kampung pecahan dari Manggroholo ini. Di kampung penghasil sagu itu tampak rumah-rumah batu. Jalan utama kampung dibeton meski jalan antarkampung berlumpur.
Sepetak pohon sagu itu sebagian kecil dari populasi sagu tersebar di lanskap Knasaimos. Pemetaan ekologi menunjukkan, 50-60 persen hutan setempat berupa populasi sagu atau warga setempat menyebutnya “dusun sagu”.
Sagu dan merbau inilah dua tumbuhan yang jadi alasan kuat warga Kampung Sira selama 10 tahun didampingi Greenpeace serta kini Belantara Papua, bersiasat menolak kehadiran perkebunan sawit yang mengelilingi lanskap Knasaimos. Sebagai hutan produksi yang bisa dikonversi, lanskap Knasaimos bisa mudah dilepaskan dan dibuka bagi kebun ataupun tujuan lain.
“Kalau pohon-pohon ini ditebang, kami yang hidup dari hutan ini mau makan apa, mau bangun rumah pakai apa? Merbau habis, sagu juga habis,” kata Yoel Smere, tetua masyarakat yang menjabat kepala kampung Sira pada 2003-2016.
Berulang kali perusahaan-perusahaan sekitar area itu mendekati warga agar melepas hutan ulayat mereka. Namun, warga di Kampung Sira belajar dari nasib kampung-kampung lain yang telanjur melepas hutannya bagi sawit.
Operasi Hutan Lestari II secara masif di Papua pada 2005 jadi amunisi kuat bagi warga untuk mempertahankan tutupan hutan. Operasi itu digelar pemerintah dengan mengerahkan aparat kepolisian untuk menghentikan penebangan ilegal.
Deklarasi adat
Pada 2007, masyarakat adat Kampung Sira dan Manggroholo menggelar deklarasi adat bagi perlindungan hutan ulayatnya. Itu disambut Greenpeace dengan memberi pendampingan. Pada 9 Maret 2017, masyarakat adat kampung itu menerima izin hak kelola hutan desa seluas total 3.500 hektar dari Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Masyarakat Sira dan Manggroholo disiapkan mendapat hutan desa. Mereka dilatih melaksanakan pemetaan partisipatif untuk menyepakati batas kepemilikan marga dan peruntukan hutan. Kenapa bukan hutan adat yang didorong Greenpeace bagi masyarakat adat Sira?
“Saat itu, yang ada mekanismenya adalah hutan desa,” kata Charles Tawaru, pegiat Greenpeace Indonesia di Papua. Hutan adat baru diakui negara saat masyarakat menang atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. MK mengeluarkan hutan adat dari hutan negara saat menguji materi UU No 41/1999 tentang Kehutanan.
Yanuarius Anouw, pendamping Kampung Sira dari Bentara Papua, menyatakan, pemetaan dilakukan bersama marga Kladit dan Smere. Keduanya marga utama di Kampung Sira. Saat pemetaan, kepala submarga mendelegasikan perwakilannya bersama turun ke lapangan.
Marga pemilik ulayat hutan berbatasan dilibatkan demi mencegah konflik. Pemetaan itu memperkuat batas alam yang jadi penanda area kepemilikan. Penanda bisa berupa batu, pohon, sungai, atau kontur hutan.
Seusai memetakan batas antarmarga, langkah tak kalah sensitif ialah penentuan zonasi peruntukan. Tiap marga menentukan area bertani dan lindung.
Yanuarius yang berasal dari Paniai, wilayah pegunungan tengah di Papua, mengatakan, proses serupa kini dilakukan pada kampung-kampung di lanskap hutan adat Knasaimos seluas 81.000 ha. Lanskap tak terlalu luas itu “terancam”.
Di luar hutan desa Kampung Manggroholo (1.695 ha) dan Sira (1.850 ha), mayoritas berstatus hutan produksi yang bisa dikonversi. “Knasaimos dikelilingi perkebunan sawit. Bahkan, di dalam hutan ada izin HPH (kini izin usaha pengelolaan hutan alam atau penebangan). Jika pemerintah tak memberi perhatian, hutan Knasaimos bisa jadi perkebunan sawit yang ekspansinya gila-gilaan,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global Greenpeace Indonesia.
Karena itu, langkah Manggroholo dan Sira mengelola hutan desa bisa dicontoh kampung lain. Warga dua kampung itu harus memegang kepercayaan negara dengan meningkatkan kesejahteraan mereka sekaligus menjaga hutan dari kerusakan.
Markus Kladit, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa, mengatakan, Kampung Sira berarti tempat bersatu karena secara historis kampung itu tempat berkumpul suku-marga setempat yang berdamai setelah perang Hongi. Warga kampung itu menunjukkan hutan lestari dan kesejahteraan bisa dicapai. Mereka menanam damar putih yang getah resinnya berharga lebih tinggi dari damar merah yang umum ditemui di Papua.
Getah damar dimanfaatkan sebagai bahan bakar obor atau penerangan tradisional, kini dijual Rp 20.000 per kilogram. Namun, pasokan belum stabil.
Usaha yang berjalan adalah penyimpanan dan penjualan sagu. Penjualan lewat koperasi meningkatkan harga karena daerah itu penghasil utama sagu bagi Teminabuan dan area lain.
Peluang usaha lain dijajaki, seperti pengolahan sagu, budidaya ikan air tawar, pembuatan kerajinan, dan penjualan buah hasil hutan. Izin hutan desa 35 tahun jadi peluang bagi warga untuk memanfaatkan hasil hutan nonkayu secara arif.
Secara turun-temurun, mereka menjaga hutan memenuhi periuknya. Lewat hutan desa, periuk dari hutan diharapkan memberi hasil lebih bagi masyarakat. (ICHWAN SUSANTO)
sumber : https://kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2017/04/03/hutan-desa-sira-menjaga-periuk-orang-papua/